Tradisi Menginang atau Menyirih

Menginang adalah istilah untuk menyebut suatu kebiasaan mengunyah bahan-bahan paduan (campuran) antara daun sirih, buah pinang tua, dan kapur.

Pada masa selanjutnya bahan menginang ditambah dengan gambir dan tembakau, sehingga air liur dan mulut pengunyah memerah. 

Selain nikmat dikunyah, sirih dan pinang dianggap sebagai obat karena mengandung kandungan antiseptik (anti kuman) 

Tradisi menginang di Riau, Sumatra disebut menyirih. Ibu Bapak (penulis) tahun 1980-an masih menjumpai kebiasaan ini. Ibu Bapak baru berhenti menginang sekitar tahun 1985. Tahun setelahnya hanya menyirih untuk bahan pengobatan tradisional seperti untuk mengurut bayi yang sakit. Caranya; air liur memerah yang telah dikumpulkan dalam wadah tempurung, hasil menyirih diurutkan pada tubuh bayi. 

Dalam kegiatan sosial dan upacara, menginang menjadi simbol keramahtamahan karena dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, mulai dari anak muda hingga orang tua, mulai dari rakyat biasa hingga raja.

Saat ini, sudah tidak banyak orang yang melakukan tradisi menginang. Namun, tradisi ini masih dapat ditemukan di beberapa daerah di Indonesia seperti di Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua.

Khusus di provinsi Kepulauan Riau disebut dengan 'berkapur sirih'. Dalam tradisi berkapur sirih terdapat seperangkat alat yang biasa digunakan oleh masyarakat Melayu dan disebut dengan Tepak Sirih, digunakan sebagai pelengkap upacara adat tertentu, seperti upacara adat perkawinan, menyambut tamu dan upacara adat lainnya.

1. Apa saja bahan utama menyirih?
2. Apa nama istilah 'menyirih' di Kepulauan Riau?
3. Mengapa dulu menyirih disebut sebagai simbol keramahtamahan? 
4. Di mana saat ini tradisi menyirih masih dilakukan?
5. Di Kepulauan Riau, tempat letak bahan-bahan menyirih disebut...